This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Jumat, 17 Februari 2012
07.15
Akh Arif
1 comment
Jalan Menuju Tasawuf
Dalam
dunia tasawuf istilah tersebut diatas sangat populer;Syari’at
Tarikat-Tarekat (Thariqat) Hakikat -Hakekat (haqiqat) adalah rangkaian sarana /
jalan menuju Allah dan satu sama lain tidak bisa dipisahkan.Syeikh Sayyid Abi
Bakar Ibnu Muhammad Syatha,dalam syair hikmahnya mengatakan :
1.SYARI”AT
Didlam
eksiklopedi tasawuf disebutkan bahwa syari’at merupakan salah satu tahap
praktek bagi calon sufi.keempat tahap lainya itu: syari’ah ( hukum keagamaan
eksoterik ) tariqah (jalan mistik),haqiqah
(kebenaran) dan ma’rifah ( pengetahuan ).
Syarat
pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at;hukum Allah untuk kehidupan
manusia,yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al mustaqim (yaitu
jalan agama yang lurus.Jalan ini membawa sesorang ke dalam hakekat ( kebenaran
akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensinya ).
Syari’at
dari akar kata syara’a yang berarti jalan.ia adalah jalan yang benar,sebuah
rute perjalanan baik dan dapat ditempuh oleh siapapun.Sebagian besar sufi
memahami syari’at dalam pengertian yang luas; mencakup ilmu dan seluruh ajaran
islam.Syari’at bukan hanya sekumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak
lahiri.Ia juga menjelaskan tentang keimanan, tauhid, cinta ,syukur,sabar,ibadah,zikir,jihad
takwa.dan ihsan serta menunjukkan bagaimana mewujudkan realitas tersebut.semua
doktrin sufi,secara implicit dan /atau ekplisit lahir dari sini.Syeikh Ahmad
Sirhindi mengemukakan ; di dalam syari’at
terkandung tiga hal yaitu : pengetahuan(ilmu),praktik ( amal)dan ikhlas.artinya
meyakini kebenaran syari’at dan melaksanakan perintah perintahNYA dengan tulus
dan ikhlas demi mendapatkan keridloan Illahi
Syari’at
berisi ajaran moral dan etika yang menjadi dasar tasawuf.Syari’at memberi
petunjuk kepada setiap orang untuk hidup secara tepat didunia ini.Mencoba
menjalankan tasawuf tanpa mengikuti syari’at bagaikan membangun rumah
berfondasi pasir.Tanpa dibangun kehidupan teratur yang dibangun dari prinsip
moral dan etika yang kuat maka tidak ada mistisisme yang dapat
berkembang.Kebutuhan terhadap syari’at sering diibaratkan dengan perahu nabi
nuh yang harus dibangun dengan papan dan pasak.papan adalah ilmu dan pasak
adalah amal.Tanpa perahu seseorang akan tenggelam dalam lautan
keserbabendaan,sebagaimana putra nabi nuh yang menolak hukum yang dibawa
ayahnya, karena itu didalam tasawuf syari’at sering dilihat sebagi bagian dari
lipat tiga : syari’at, adalah jalan utama,yang cabangnya adalah jalan yang
lebih sulit ( Tariqah) yang mengarah ke kebenaran ( haqiqah)
Dasar
pokok ilmu syari’at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur’an dan sunah nabi Muhammad saw.ibadah mahdzah dan ghairu
mahdzah serta ibadah muamalah tercantum denga jelas dalam ilmu syari’at.
Siappun
tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari’at,walaupun ulama sufi besar
dan piawi, atau wali sekalipun.Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan
syari’at untuk mencapai tarikah sangat sesat dan meneyesatkan..Karena syari’at
itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan
thariqat dan haqiqat.Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibanya, walaupun seorang
telah mencapai tingkat wali..Bahkan ibadah syari’atnya wajib melebihi tingkat
ibadah manusia biasa.Sebagaimana dicontohkan rosulullah saw,ketika mendirikan
sholat dengan penuh kekhusukan dan begitu lama berdiri,ruku’dan
sujudnya,sehingga dua kakinya bengkak karena dikerjakan dengan penuh kecintaan
dan ketulusan.
Ketika
nabi ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh sungguh
beliau menjawab : “Mengapa saya tidak menjadi hamaba yang bersyukur ?”Karena
ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensukuri nikmat ALLah dan semua
anugerahnya.Maka para sufiyah atau waliyullah tetap berkewajiban melaksankan
ibadah syari’at yang ditaklifkan kepada setiap muslim dan muslimat..
Oleh
karena itu wajib bagi penempuh jalan ruhani dan para penuntut ilmu ilmu islam
secara intensive mempelajari ilmu syari’at.Sebab semua ilmu yang berkaitan erat
dengan kehidupan dunia dan akhirat tergantung erat kepada ilmu syari’at. Ilmu
tasawuf dengan pendekatan kebatinan ( ruhaniyah ) tetap tergantung erat dengan
syari’at.Tanpa syari’at semua ilmu ruhaniyah tak ada artinya.
Hati
para sufiah akan bersinar cemerlang dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang
tinggi, haya akan diperoleh dengan ilmu syari’at. Demikian juga kemaksiatan
batin dan pencegahanya yang sudah tercantum dari teladan nabi saw,semua
tercantum dalam ilmu syari’at.
Ilmu
tasawuf adalah bagian dari akhlaq mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah
hasanahya nabi Muhammad saw.Cahaya yang bersinar dari kehidupan nabi muhammad
saw adalah pokok dasar dari pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi
para penuntut ilmu tasawuf.Menurut nabi Muhammad saw hati adalah ukuran pertama
penuntut ilmu tasawuf.dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlaq
mahmudah dan mencegah akhlaq mazmumah,seperti yang diajarkan dalam sunah nabi
Muhammad saw,sebagian dari ilmu syari’at. Dengan pengertian lain, hati manusia
shufiyah itu akan ditempati oleh tariqat yang berdasarkan syari’at.
2.TAREKAT
Tarekat
menurut bahasa berasal dari kata arab TARIQAH ( jama’:taruq atau tara’iq ) yang
bararti jalan atau metode atau aliran (madzab).Tarekat adalah jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan sampai ( wusul) kapada NYA.Tarekat
merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan aturan
teretentu, dengan petunjuk guru atau mursid tarekat masing masing,agar berada
sedekat mungkin dengan ALLAH swt.Ahli taswuf mengaitkan istilah tarekat dengan
firmanNYA :”Dan bahwasanya apabila mereka tetap berdiri pada jalan (tariqah)
yang benar niscaya akan kami turunnkan ( hikmah)seperti hujan yang deras dari
langit. (AL-Jin/72:16).
Pemikiran
yang mendasari tasawuf adalah karena Allah merupakan zat yang maha suci,maka
yang suci itu tidak akan dapat didekati kecuali dengan sesuatu yang suci.Dalam
mendekatkan diri kepada Allah, para sufi biasanya melalui tahapan tahapan
spiritual ( maqomat).masing masing sufi menempuh tahapan spiritual yang berbeda
beda,berdasarkan pengalaman ruhani yang berbeda pula. menurut AL Gazali langkah
langkah yang harus ditempuh untuk mencapai kejernihan hati ( tazkiyah al nafs )
adalah :Takhalli yaitu pengosongan hati dari selain Allah, Tahalli :yaitu
mengisi hati dengan zikir kepada Allah dan sifat sifat terpuji, dan Tajalli ;
yaitu;memperoleh hakekat dan penampakan Tuhan.
Metoda
yang digunakan para suifi untuk mendekatkan diri kepada Allah berbeda beda,,
sebagian mereka melalui cara selalu dalam keadaan zikir kepada Allah ( mulzamah
al-dzikr), selalu melatih diri (riyadoh ),selalu bersunguhsungguh untuk
membersihkan hati dari sifat sifat tercela dan hawa nafsu (mujahadah),sebagian
yang lain melalui metoda tujuh yaitu; memperingati diri(musyaratah),mengawasidiri(muraqabah)
intropeks (muhasabah), menghukum diri (mu’raqabah ) kesungguhan lahir batin
(mujahadah ), menyesali diri (mu’atabah) dan pembukaan hijab ( mukhasafah
).Serentak dengan itu mereka melintasi tingkatan tingkatan (maqamat) antara lain
tobat, sabar,ridla,zuhud, muhatabah, dan ma’rifah.
Menurut
syeikh Ajiba al hasani ; tarekat berarti bertujuan membereskan hati membereskan
hati dengan tiga hal : ikhlas, jujur dan tenang ( tuma’ninah) atau bisa
dikatakan membereskan hati dengan cara mengosongkannya dari kotoran kotoran
jiwa dan menghiasinya dengan keutamakan.
Suatu
ketika syeikh Baha’ al Din al naqsyabandi ditanya :apa tujuan tariqah ?,beliau
menjawab :”tujuannya adalah mengetahui secara rinci apa yang baru engkau
ketahui secara singkat, dan untuk merasakan dalam penglihatan apa yang telah
engkau ketahui lewat penjelasan dan argument”.Tujuan tareqah adalah memperkuat
keyakinan terhadap syari’at,menyakini kebenaranya, mematuhi jaran ajaranya
dengan senang dan spontan,mengikis kemalasan dan meniadakan penentangan atas
keinginan diri ( nafsu ).
Seluruh
kegiatan Tariqah dapatlah dikatakan mengarah pada satu tujuan ; yaitu ma’rifat
billah atau mengenal ALLAH.Ma’rifat billah adalah puncak tujuan dari perjalanan
tariqat atau ajaran tasawuf.Dengan berbagai jalan, cara, atau metoda ,tariqah
pada intinya adalah ingin menjadi orang selalu taqarub billah, ma’rifat billah
dan sekaligus ingin menjadi orang yang dikasihi ALLAH atau yang dikenal dengan
sebutan WALIYULLAH.
3.WAJIBKAH MENGIKUTI KELOMPOK TAREKAT TERTENTU
Ada
semacam keyakinan kuat dalam masyarkat kita bahwa pengamal tariqat harus
mengikuti orginasasi atau kelompok tarekat tertentu,sehingga dia dapat disebut
pengamal tariqat jika ia telah memsuki suatu organisasi tarekat tertentu yang
dibimbing seorang guru tertentu dan mempunyai tata cara menurut ajaran
organisasi tersebut.Dengan demikian ada doktrin yang baku dan diyakini benar
benar, bahwa seorang tidak bisa sampai kepada tujuan ibadat secara hakiki
sebelum menempuh atau melaksanakan ajaran organisasi tariqoah tertentu.
Ust.Labib
MZ (dalam Rahasia Ilmu Tasawuf ) perpendapat ; seorang pengamal tariqat
tidaklah harus menjadi anggota kelompok jama’h tariqoh dalam aliran tertentu,
namun seorang yang sudah melaksanakan ajaran islam secara murni dan konsekwen
sudah termasuk melaksanakan tariqat.
Semua
orang sesuai dengan profesinya dan kemampuanya dengan cara sendiri sendiri bisa
dikategorikan pengamal tariqat.Dalam hal ini tariqat yang digariskan dalam
syari’at tenytunya. Sebab tariqat yang tidak sesuai dengan syari’at adalah
sesat.Tidak ada tariqat tanpa syari’at, tidak terwujud hakekat tanpa adanya
syari’at. Seperti dikatakan syeikhZainudin bin Ali Al Malibari :” Bahwasanya
Tariqat ( jalan menuju Allah yang ditempuh orang islamn ) adalah
syari’at,tariqat, hakikat.Maka dengarkanlah contoh contoh dari ketiga tiganya
“.
Jadi
tarekat umat islam tak lain adalah syari’at islam itu sendiri.Dan umat islam yang
mengamalkan syari’atnya berarti sudah mengamalkan tareqat,tak peduli apapun
profesinhya, direktur dokter ,ulama, pengajar,kyai , ustaz, da’i ,pelajar,
mahasiswa dan lainya.Jalan tariqah bisa ditempuh dengan berbagi macam jalan
termasuk juga orang sudah mengususkan diri dengan memperbanyak zikir dan
senantiasa bertaqarub kepada Allah,baik lewat organisasi tariqat tertentu atau
tidak ,nilainya sama hanya cara dan bentuknya yang berlainan.
Syeikh
Zainudin bin Ali al malibary dalam “Nadhom Hidayatul Adzkiya” mengatakan :”Dan
bagi masing masing dari kaum ada sebuah jalan (tariqat,cara)dari beberapa
jalan,yang dipilihnya, maka dari jalan ini mereka sampai.Seperti duduknya
diantara manusia dalam keadaan mendidik, dan seperti memperbanyak wirid –
wirid, puasa, solat. Dan seperti berkhidmad kepada manusia, membawa kayu bakar
untuk bersedekah dengan uang yang dihasilkannya”.
Pada
akhirnya seorang muslim tidaklah wajib mengikuti ataupun memasuki kelompok atau
organisasi tarekat teretntu,(agar sampai kepada Allah ) tetapi wajib bagi umat
islam untuk melaksanakan syari’at islam sebagi tariqat yang sah untuk menuju
kepada ALLAH, sebagai bukti perwujudan keimanan kepada Allah. Apabila seorang
muslim telah melaksanakan syari’at dengan benar dan sesuai petunjuk sunah rosul
maka berarti sudah melaksanakan tariqat yang dilakukan oleh keksaih Allah,
wliyullah.
4.HAKIKAT
Dalam
eksiklopedi Tasawuf di terangkan ; Hakikat atau kebenaran adalah makna terdalam
dari praktik dan petunjuk yang ada pada syari’at dan tarekat.Haqiqah menunjukan
hakikat esensial segala sesuatu atau kebenaran., ia adalah pengalaman langsung
akan kebenaran gaib.Tanpa pemahaman yang didasari pengalaman tersebut maka kita
ditakdirkan untuk taklit, meniru mereka yang telah mencapai tingkat HAQIQAH,
seperti laiknya sebuah mesin.Pencapaian pada tingkat haqiqah ini menegaskan dan
memperkukuhkan prkatik dua tingkat pertama.Sebelum mencapai tingkat haqiqah,
seluruh praktik merupakan bentuk peniruan .
Haqiqah
( kebenaran atau kenyataan seakar dengan kata Al haq, realty, absol ute).Makna
haqiqah (hakikat) menunjukan kebenaran esoteric yang merupakan batas dari
transendensi manusia dan teologis.Dalam pengertian ini haqiqah merupakan unsur
ketiga setelah syaria’at (hukum) yang merupakan keyakinan eksoteris,tarikat
(jalan)sebagai tahapan esoterisme,yang ketiga ialah haqiqah yakni kebenaran
esensial.
Haqiqah
adalah kemampuan seorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam
syari’at .Dalam dunia sufi haqiqah diartikan sebagai aspek batin dari
syari’at,sehingga haqiqah adalah aspek yang paling penting dalam setiap
amal,inti, dan rahasia dari syari’at ; merupakan tujuan setiap penempuh jalan
menuju ALLAH ( salik).
Falsafah Islâm dan Tantangan Modernitas di Indonesia
01.34
Akh Arif
No comments
Falsafah Islâm dan Tantangan Modernitas di Indonesia
(Dalam Kajian Islamisasi Sains)
Oleh : Arif Rahman
filsafat
merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang absolute,
berbagai cara dan pendekatan yang dapat kita lakukan untuk mencapai kebenaran
tersebut, tapi satu hal yang pasti, sesungguhnya kebenaran tidak ada yang
absolute. Apa Kaitannya dengan falsafah Islâm di Indonesia, dapat kita katakan
bahwa sesungguhnya falsafah Islâm di Indonesia tujuannya adalah untuk
membebaskan dari pengaruh barat yang masuk melalui teknologi yang canggih dan sama-sama mencari kebenaran yang hakiki, yaitu
Allah ‘azza wa jallah.
falsafah
Islâm terdiri dari wahyu -teks suci- dan akal -rasio. Dan
tugas falsafah Islâm adalah umtuk berbakti kepada
agama. Meskipun filsafat berdiri sendiri tapi dia masih bergantung pada agama
itu sendiri karena dalam sejarah filsafat sendiri semuanya bergantung ada agama
seperti halnya yang di lakukan terhadap gereja Kristen pada abad ke-20.[1] Dalam mengahadapi tantangan modernitas yang semakin lama semakin
membabi buta terutama di Indonesia maka eksplorasi ajaran dan pemikirannya
menjadikan falsafah Islâm sebagai suatu cara untuk memahami realitas dan konteksitas dari
suatu paham tertentu. Yang jelas ketika kita berbicara tantangan modernitas
kita pasti akan dihadapkan dengan kemajuan teknologi, dan kemajuan teknologi
itu sendiri mayoritas bersumber dari non islâm
yang notabene adalah orang barat dan orang barat kebanyakan dan hampir semua
memakai ajaran atau doktrin dari filsafat barat seperti Marx dengan
kapitalisme-nya ; August comte derngan positivisme-nya ; kant, hegel dengan
kritisisme-nya; locked and hume dengan empirisme-nya. Itu semua adalah sebagian
dari ajaran filsafat barat yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
teknologi yang ada pada saat ini. setelah kita pahami
secuil fenomena yang diatas, timbul pertanyaan bagi kita semua yaitu : Bagaimanakah peranan dari falsafah Islâm terhadap sains dan teknologi dan berada pada posisin yang mana,
Apakah falsafah
Islâm dapat berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi ataukah masih mempertahankan pemikiran dan ajaran-ajarannya.
Mari coba kita jawab satu demi satu pertanyaan tadi, yang pertama tentang
bagaimanakah peranan dari falsafah Islâm di
Indonesia dan berada pada posisi yang mana ?
Peranan dari falsafah
Islâm terutama di Indonesia sebenarnya sangat banyak di
dunia teknologi karena falsafah Islâm mempunyai
suatu teks suci yang merangkum semua kejadian dan seluk beluk dari alam dunia,
akhirat dan alam-alam yang lain. Yang mana semua pemikiran barat dan yunani
sudah ada dalam teks suci yang dijadian dasar bagi falsafah Islâm. Hanya saja para penganut atau dalam hal ini orang islam belum
dapat menemukan dan menelaah lebih lanjut satu persatu dari teks suci yang
selama ini mereka bangga-banggakan. Hal ini merupakan kesalahan yang sangat
fatal jika dibiarkan terus menerus. Dan posisi yang selama ini terjadi adalah falsafah
Islâm banyak mengkonsumsi pemikiran dan ajaran dari barat
dan hampir jarang sekali mengeksplorai ajaran mereka. Sehingga kemajuan dalam
berpikir yang bebas nilai sulit dilakukan dan kebanyakan dari mereka mengalami
kesalahan metodologis dalam mempelajari falsafah Islâm.
Kita masuk pada pertanyaan yang kedua yaitu apakah falsafah Islâm dapat berkembang yang
notabennya di Indonesia sejalan dengan perkembangan teknologi ataukah masih
mempertahankan pemikiran dan ajaran-ajarannya yang tradisional yang ada di
negeri ini?
Jawaban dari hal ini sebenarnya sangat simple tapi sulit sekali
untuk di implementasikan.but , we must to try this, ok!
Seperti ini, falsafah Islâm itu saya yakin pasti bisa
berkembang dan bahkan lebih maju dari filsafat barat. Hal ini dapat terealisasi
apabila ajaran falsafah Islâm itu sendiri memegang
teguh pada prinsip dan konsepnya sendiri. Keunggulan dari falsafah Islâm dari barat yaitu bahwa barat hanya mengandalkan dunia empiris
dan bersifat ontologis yang sekuler (meskipun dalam ajaran kant ada ajaran
spiritulnya yang berkaitan dengan diri sendiri) sedangkan falsafah Islâm mengenal alam tidak hanya satu melainkan banyak dan kesemua itu
adalah bersifat hirarkhi. Mau tidak mau umat islam atau dalam hal ini para
filosof Islam harus dapat mengalahkan metode berpikir dari filsafat barat, dan
dalam hal ini minimal mereka sampai dalam tataran islamisasi sains seperti yang
ada pada tujuan dari kampus kita ini, yaitu islamisasi sains. Sebenarnya
islamisasi sains itu sangat baik dan perlu untuk dilakukan karena kita telah
paham bahwa semua yang terjadi dengan kemajuan teknologi saat ini adalah
sumbernya dari al-qur’ân dan al-hadîts.
Untuk mencapai tujuan tersebut kita harus paham tentang metodologis falsafah
Islâm seperti apa?
Dalam hal ini antara rasionalitas dan teks suci, jangan sampai kita
tergolong orang yang hanya memandang sesuatu itu dengan tekstual saja tapi
harus paham tentang konteksnya. sebenarnya kalau kita mencoba untuk berpikir
dan merenung lebih jauh sebenarnya antara teks suci dan rasionalitas terletak
pada tempat yang sejajar (tataran yang sama). Sehingga dapat berjalan
beriringan. Hanya saja ketika rasionalitas keluar dari teks suci jangan sampai
mengklaim bahwa itu salah, tapi seharusnyalah kita merefleksikan kembali apa
yang telah kita pikirkan karena apa yang kita pikirkan pasti akan terwujud.
Baik dalam hal apapun dan ini tidak menyangkut masalah axiologis. yang penting
kita paham metodologinya. karena metodologi merupakan pisau psikoanalisis untuk
menuju islamisasi sains.
Berikut ini merupakan peluang dan kesempatan bagi berkembangnya
falsafah Islam di dunia terutama Indonesia di antaranya adalah :
(1)
Studi Biografis
Indonesia tentunya mempunyai banyak mempunyai berbagai kesempatan
dalam memperkenalkan ribuan ilmuan-filosof Muslim dengan melalui study di
berbagai universitas terutama di Universitas Agama seperti di UIN Sunan Gunung
Djati Bandung dan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta sekitarnya yang tentunya akan menjadi ladang sejarah
bagi timbulnya falsafah Islam di Indonesia.
(2)
Studi
Gnomologis,
yang mencoba membahas berbagai karya hikmah yang pernah dibuat oleh
para filosof Muslim yang dulu sangat berkembang di dunia Timur dan Barat
(Andalusia).
(3)
sains Islam
Ilmu inilah yang sangat penting bagi kemajuan falsafah Islam di
Indonesia karena dengan sains Islam bisa menguasai dunia pengetahuan bukan
dengan cara perang militer melainkan dengan menggunakan Akal fikiran seperti
halnya yang di lakukan oleh orang yahudi (Amerika) terhadap Indonesia melalui
dunia cyber (dunia maya).[2]
(4)
filsafat Perennial
yang membahas pemikiran dari berbagai pemikir Muslim perenial yang
umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak menghasilkan karya-karya besar,
dan terakhir
(5)
Filsafat
Pasca-Ibn Rusyd
yang akan membicarakan perkembangan falsafah Islam setelah masa Ibn
Rusyd hingga saat ini.
Dengan
demikian, jelas bahwa Gerbang Masa Depan Falsafah Islam di Indonesia masih
terbuka dan akan menjadi corak bagi berkembangya falsafah Islam di Dunia Timur
dan Barat. sehingga falsafah
Islam dapat menguasai dunia dengan memetakan kembali seluruh hasil pemikiran
filsafat Islam dalam suatu kesatuan yang padu, karena Islam adalah rahmatâ
li al-'âlamîn. Maka selayaknya Islam memberi corak kemajuan yang khas
terhadap dunia Kontemporer.
Konsep Wahdatul Wujud Menurut Ibnu Arabi
01.30
Akh Arif
No comments
KONSEP WAHDATUL WUJŪD MENURUT IBN ‘ARÂBÎ
Ajaran sentral Ibn Arâbî adalah tentang wahdatul al-wujûd yang istilahnya bukan
berasal dari Ibn Arâbî sendiri melainkan berasal da’i Ibnu taimiyah tokoh yang paling keras
dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah
berjasa dalam mempopulerkan wahdatul al-wujûd ke dalam masyarakat islam meskipun tujuannya negatif.
Kaum atheis dan golongan madzhab wahdatul wujûd mengemukakan fana wujud selain Allah dalam kitab “Fushûshul hikâm” dan orang-orang yang
sepadan dengannya mengatakan bahwa wujud khalik adalah wujud makhluk. Dipahami
dari ucapan mereka itu bahwa mereka tidak mengakui adanya wujud selain Allah.
Ucapan ini hanya lahir dari mulut orang kafir seperti yahudi, nasarani, dan
penyembah berhala, orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Tuhan dan hamba
tidak ada perbedaan antara keduanya, ucapan ini sebenarnya menunjukan kekafiran
yang nyata terutama apabila yang dimaksudkan seluruh makhluk meskipun yang
dimaksud adalah para wali Allah yang beriman dan bertaqwa, kita tidak bisa
langsung memfonis Ibn Arâbî dan orang-orang sehaluannya adalah kafir, namun
bukan berarti kita harus menerima mentah-mentah hasil ijtihad mereka dibidangnya
masing-masing khusunya tasawuf ini, karena kita yakin bahwa mereka umumnya
adalah terdiri dari mutjahid islam di bidangnya. Dari hasil pengkajian ijtihad
dan maka ajaran tasawuf seperti ittihad, hûlûl, waḫdtul wujûd dan
sejenisnya perlu di kaji ulang.
Menurut Ibnu taimiyah wahdatul wujûd adalah penyamaan Tuhan dengan alam, dia menilai bahwa ajaran Ibn Arâbî
adalah dari aspek tasybihnya (penyerupaan) khalik dengan makhluknya.[1] Ia belum menilai dari aspek tanzihnya (penyucian khalik). Menuru Ibn
Arâbî wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk
adalah wujud khalik pula, tidak ada perbedaan diantaranya dari segi hakikatnya,
dan kalaupun di lihat dari sudut pandang panca indra. Wujud alam pada
hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara wujud yang qodim dengan yang baru atau dengan kata l;ain tidak
ada perbedaan antara ‘abîd (menyembah) dan ma’bûd (yang di
sembah)
Kalau khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa telihat dua?
Menurut Ibn Arâbî tidak
memandangnya dari sisi satu, tetapi memandang keduanya bahwa khalik dari sisi
satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang lain
mereka pasti mengetahui hakikat keduanya yakni dzatnya satu yang tak
terbilang dan terpisah. Wujud Tuhan juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu
dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme, yang di
definisikan oleh Henry C.Theissen. panteisme adalah teori yang menyatakan bahwa
segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian dari satu
wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.
Ibn Arâbî menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak yaitu wujud
Tuhan, satu-satunya wujud menurut Ibn Arâbî adalah wujud tuhan, tidak ada wujud
selain wujud-Nya. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain tuhan.
Dalam bentuk lain dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh tuhan dan
wujudnya bergantung pada wujud tuhan.
Dengan demikian, Ibn Arâbî menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari
tiada. Ia mengatakan bahwa nur Muhammad itu qodim dan merupakan sumber emanasi
dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada dari
pada nabi adam sampai nabi Muhammad dan dari nabi Muhammad pada diri
pengikutnya yaitu para wali.
Dari konsep-konsep wahdat al-wujûd Ibn Arâbî ini muncul dua konsep
yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep dari wahdatul
al-wujud itu, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyah dan konsep wahdat
al-adyan (kesamaan agama).
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujûd Ibn Arâbî mengungkapkan
bahwa wujud ini satu, namun dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam
dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang
disebut dengan barzah atau menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah
yang di sebut dengan insan kâmil.[2]
Ia
juga menjelaskan bahwa tuhan segala tuhan adalah Allah SWT. Sebagai nama yang
teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan
sumber segala nama dan tujuan akhir dari segala tujuan dan arah dari segala
keinginan serta mencakup segala tuntutan, kepada-Nyalah isyarat yang
difirmankan Allah kepada rasulnya, bahwa kepada Tuhan-Mu lah tujuan akhir
karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan yang pertama, dan tuhan
yang khusus baginya adalah ketuhanan yang agung ini. Ketahuilah bahwa segala
nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah. Sedangkan hakikat
muhammadiyah merupakan gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama
ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah sebagai
tuhannya. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan hakikat muhammadiyah
disini bukanlah nabi Muhammad sebagai manusianya, namun hakikat muhammadiyah
adalah asma dan sifat Allah serta akhlaknya. Nabi Muhammad disebut dengan
Muhammad karena beliau mampu berakhlak dengan seluruh akhlak ketuhanan
tersebut.
Dalam Filsafat
Hikmah Mulla Shadra juga mengemuka konsep wahdatul wujud. Sesuai dengan
penjelasan para pemerhati Filsafat Hikmah, Mulla Shadra dalam menjelaskan
konsep wahdatul wujud banyak terpengaruh oleh pandangan Ibn Arâbî.
Perbedaan asasi
antara Ibn Arâbî dan Mulla Shadra terletak pada penekanan Ibn Arâbî atas "thuri warai thur aql" konsep wahdatul
wujud. Mulla Shadra meyakini bahwa konsep wahdatul wujud dapat
dijelaskan secara filosofis. Atas dasar ini, sistem filsafat Mulla Shadra
berdasarkan dan berpijak pada masalah kehakikian wujud (ashalatul wujud)
dan wahdatul wujud.
Disebutkan
bahwa masalah wahdatul wujud bagi urafa sekali-kali tidak dikemukakan
sebagai satu konsep murni filosofis dan terpisah dari realitas kehidupan.
Masalah wahdatul wujud merupakan pengungkap tertinggi derajat kemurnian
dan ketulusannya dalam bertauhid kepada Allah Swt. Kehidupan yang sarat dengan
cinta dan harapan urafa Ilahi sejatinya merupakan jelmaan kehidupan yang
berdasarkan wahdatul wujud.
Urgensi Amanah dan Fokus Kerja dalam Dakwah
01.28
Akh Arif
No comments
Urgensi
Amanah dan Fokus Kerja dalam Dakwah
Oleh Arif
Iskandaria Al-Bantani
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi
mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat
menggetarkan musuh Allah, musuh mu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infaqkan di
jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan di
dzalimi (dirugikan).” Qs. Al-Anfal : 60
Amanah adalah salah satu sifat mulia
yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terlebih lagi bila ia menjadi pemimpin,
ulama atau orang kaya. Lawan amanah adalah khianat. Sebab itu, tidak heran jika
salah satu sifat yang wajib bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah
amanah. Sedangkan khianat merupakan salah satu sifat yang mustahil dimiliki
oleh beliau.
Amanah lazim dipahami sebagai sebuah
karakter kejujuran dalam menjalankan tugas, pekerjaan atau kedudukan yang
diperoleh atau diberikan. Ada lagi yang memahami amanah dengan memberikan atau
menerima tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan keahlian. Ada pula yang
mengartikan amanah sebagai penerapan hukum secara adil terhadap semua manusia,
tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme.
Apapun bentuk definisi amanah yang
dirumuskan, sulit menemukan sebuah definisi yang mencakup semua aspek yang
terkandung dalam kata "amanah", karena begitu besar makna dan
perannya dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan Dakwah Ilallah. Dakwah
Ilallah akan terasa hampa dan kering tanpa amanah. Dakwah Ilallah akan hancur,
paling tidak menyimpang dari jalan dakwah itu sendiri tanpa amanah, terlebih
lagi jika yang tidak amanah itu para pemimpinnya, ulamanya dan para orang kaya
yang ada di dalamnya.
Amanah bukanlah sebuah rangkaian
kata-kata indah yang selalu menghiasi bibir kita sehingga menjadi indah
didengar dan dikhayalkan. Akan tetapi, amanah, khususnya dalam kehidupan jamaah
dan dakwah Ilallah, hendaknya menjadi sebuah karakter permanen dalam diri para
pemimpin, tokoh, ulama dan para aktivis dakwah yang tercermin bukan hanya dalam
kata-kata, melaikan dapat pula diterjemahkan oleh pikiran, tulisan, perasaan,
sikap dan tingkah laku keseharian.
Tanpa amanah seperti yang disebutkan
di atas, sulit bagi kita membangun jamaah dakwah Ilallah yang kuat, dan
terhormat yang kehidupan sehari-harinya diliputi oleh suasana kasih sayang
(mahabbah) dan kejujuran. Bila amanah sudah sirna, virus-virus kebencian, KKN,
like and dislike, kecurangan, tidak transparan, licik, oportunis, persaingan
tidak sehat, saling menjatuhkan dan bahkan memperjual belikan ayat-ayat Allah
dengan harga (dunia) yang sedikit serta berbagai virus mematikan lain yang
semakin merajalela. Akhirnya kehancuran yang akan menimpa (la samahallah).
Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi
wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah
mengingatkan kita:
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu berkata: Bersabda Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam: Bila amanah sudah
diabaikan, maka tunggulah kehancuran. Dia berkata: Bagaimana mengabaikan amanah
itu wahai baginda Rasulillah? Beliau menjawah: Bila diberikan suatu
urusan/tugas/pekerjaan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancuran".
Imam syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan:
“Aku mampu membayangkan akh
al-Mujahid itu sebagai seorang laki-laki yang senantiasa melakukan persiapan
dan menyiapkan perlengkapannya, mampu menguasai pikiran yang memenuhi setiap
sudut jiwanya dan seluruh bagian hatinya. Dia senantiasa berpikir memusatkan
perhatian sepenuhnya terhadap persiapan yang terus menerus. Apabila dipanggil
ia menyahut, apabila diajak ia menanggapi, datang dan perginya, perkataan dan
bicaranya, kebenaran dan kelakarnya, tidak melampaui batas.
Dia tidak melaksanakan tugas selain
dari yang telah diletakkan oleh keadaan dan tuntunan atasnya, dan dia berjihad
di jalannya. Anda dapat membaca pada raut muka dan kilauan matanya, dan
mendengar dari gerakan lidahnya semua apa yang bergelora di dalam hatinya,
kesengsaraan yang tersimpan di dalam hati, semua tujuannya benar dan
bersungguh-sungguh pelaksanaannya, cita-citanya tinggi dan sasarannya jauh untuk
memenuhi jiwanya.”
Itulah perkataan Hasan Al-Banna
ketika menggambarkan profil seorang mujahid. Bahwasanya persiapan itu perlu,
termasuk dalam dakwah yang notabene merupakan proyek besar ummat Islam. Dakwah
bukan hanya proses singkat yang langsung bisa diketahui hasilnya. Tapi ini
merupakan proses perjalanan panjang yang tidak langsung segera kita ketahui
hasil proses ini. Bahkan sesungguhnya, hanya ALLAH saja yang tahu hasil dari
dakwah ini.
Kita boleh saja membatasi patokan
bahwa ketika orang-orang semakin banyak yang rajin ke masjid, wanita-wanita
sudah banyak yang berjilbab, maka itu berarti dakwah kita mulai menampakkan
hasil. Tapi ingatlah, masalah hati hanya ALLAH saja yang tahu. Keikhlasan dan
kedekatan orang-orang terhadap Islam adalah hak ALLAH
Tugas kita sebagai da’i hanyalah
menyeru. Hasilnya kita serahkan kepada ALLAH. Tapi bukan berarti kita boleh
asal-asalan dalam melaksanakan proyek dakwah. Kita tetap harus profesional
dalam dakwah. Kita harus senantiasa ikhsan dalam pekerjaan ini. Untuk itulah,
perlu dipersiapkan pula kader dakwah yang akan mengisi “jabatan” sesuai
bidangnya. Salah satunya dengan melalui tarbiyah.
Tarbiyah adalah kerja besar. Proyek
raksasa. Sistem yang integral. Dahsyat. Mengubah yang sederhana menjadi luar
biasa. Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh
orang-orang yang memiliki naluri kepahlawanan. Demikian kata Anis Matta.
Tarbiyah adalah sebuah pilihan.
Mengambil pilihan ini tentu mengandung resiko di luar zona nyaman kita.
Tarbiyah adalah perubahan. Berani
tarbiyah artinya harus siap berubah, mengubah diri sendiri maupun mengubah
orang lain. Karena perubahan adalah keniscayaan, maka yang terpenting adalah
bagaimana menyiapkan perubahan itu menjadi lebih menyenangkan.
Di sinilah pentingnya peran seorang
murobbi. Memang, dalam tarbiyah harus ada murobbi dan mutarobbi. Keduanya
penting. Akan tetapi, hubungan seorang murobbi dan mutarobbinya bukan hanya
sebatas hubungan guru dan murid, namun lebih dari itu.
Khususnya murobbi, ia adalah walid
(orang tua). Murobbi adalah syaikh. Murobbi adalah guru. Murobbi juga adalah
qa’id (panglima yang berwibawa).
Sebagai walid, ayah atau ibu,
murobbi berperan dalam ikatan emosional. Ia berperan menguatkan mutarobbinya
bila mereka sedang dalam keadaan futur (lemah). Menanyakan kabarnya,
mengayominya, menenangkannya, menjadi pembimbingnya.
Sebagai syaikh, murobbi adalah
pengarah jiwa yang selalu memberi oase ilmu dan memberikan sentuhan jiwa dalam
spiritual dan ruhiyah. Selalu baru. Selalu maju. Selalu bersemangat dan selalu
bermanfaat untuk ummat.
Sebagai guru (ustadz), murobbi mesti
tidak berhenti belajar dan menimba ilmu. Sebab ia bertugas mengajarkan
Al-Qur’an dan Kitab, memberi suplai ilmu, memberikan wawasan baru sehingga
murid-murid merasa tenteram bersamanya.
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah: 11)
Murobbi adalah qa’id, panglima yang
berwibawa, pemimpin yang berkharisma, inovatif dalam amalnya, kreatif mencari
alur bagi para pengikutnya, pelopor dalam kebaikan, teladan dalam kebajikan,
motivator di tengah kelesuan, motor dalam perubahan.
Tentunya sebagai qa’id, murobbi
tidak hanya duduk-duduk saja. Tapi ia selalu terdepan dalam berprestasi dan
inovasi tak pernah henti, agar bagaimanapun murobbi tetap lebih unggul.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara
mereka ada yang menganiaya diri sendiri, dan di antara mereka ada yang
pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS
Fathir: 32)
Itulah beberapa peran seorang
murobbi dalam tarbiyah. Rasulullah adalah imamnya yang utama. Al Qur’an dan
Sunnah adalah pilar utama. Allah tujuannya. Syahid cita-citanya.
Adapun kader adalah pahlawan. Karena
ia rela mengambil peran di tengah kesulitan, menapaki resiko di saat orang
menghindar, meraih momentum saat manusia masih terkagum-kagum, dan menyusun
kerja besar saat orang lain belum tersadar.
Untuk bisa membentuk kader seperti
itu, diperlukan energi yang besar dan kerja yang keras. Energi dalam tubuh ada
yang namanya energi inti (quantum). Energi ini selalu bergerak mengitari pusat
orbitnya. Begitu pun tarbiyah, diperlukan quantum di dalamnya. Menjadi kader
inti (quantum tarbiyah) berarti selalu begerak sesuai pusat orbitnya, fokus,
taat, istiqomah, dan tak kenal lelah. “Berputarlah bersama Islam sebagaimana ia
berputar.” Karena gerakan itulah, ia memiliki energi dahsyat yang takkan pernah
habis kecuali Allah menghendaki.
Tidak mudah untuk menjadi kader
inti. Tapi juga tidak terlalu sulit jika kita mau mencobanya. Ada beberapa
karakter khas kader inti dalam dakwah, sebagai berikut:
1. Bersedia membina diri (Tarbiyah Dzatiyah)
1. Bersedia membina diri (Tarbiyah Dzatiyah)
Dalam dakwah, kader inti adalah
mereka yang bersedia membina diri dan menyerahkan segala komitmennya buat
perjuangan dakwah. Komitmennya tulus, tujuannya lurus, amal-amalnya bukan untuk
mencari fulus, kerjanya serius, pikirannya diasah terus, dan langkah-langkahnya
maju terus.
Allah SWT berfirman:
“Dan berapa banyaknya Nabi yang
berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa.
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan
tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang
yang sabar.” (QS Ali Imran: 146)
2. Bertransaksi di jalan Illahi dengan penuh kesadaran
Yang dimaksudkan adalah kesadaran
untuk menukar harta, jiwa, nyawa, dan dirinya dengan surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah
menjadi janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At Taubah:
111)
3. Sabar: Tidak pindah ke lain hati
Karena komitmennya inilah, kader
inti tidak mau berpindah ke lain hati. Sebab ia yakin bahwa Allah tak mungkin
ingkar janji. Karena itulah, tetaplah di sini sahabat, di jalan dakwah ilallah.
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa
yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan Rasul-Rasul-Mu. Dan
jangan Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi
janji.” (QS Ali Imran: 194)
Kader inti adalah bukti mana emas
mana loyang, mana yang asli dan mana yang palsu, dan sebagainya. Karena itu,
kader inti yang sejati tidak akan mengkhianati Allah. Tetap setia pada komitmen
awal, bahwa Islam adalah agam yang fitrah. Karena itu, ia setia mengikuti
Rasululah tanpa banyak membantah
4. Tegar: Siap mengambil Resiko Terberat
Karena komitmen inilah, para sahabat
Nabi memerankan diri sebagai pembela Nabi, menukar kecintaan diri untuk sepenuh
hati pada Nabi. Dalam kafilah inilah banyak kader-kader pilihan dengan berbagai
keistimewaan. Ada Sa’ad bin Abi Waqqash pemanah jitu pertama atas lisensi
Rasulullah. Ada Abu Dujanah dengan pedang terhunusnya menjadi benteng Nabi. Ada
Khubaib bin Adi yang tak rela Nabi disakiti walau hanya tertusuk duri
sekalipun. Ada pula Ummu Sulaim dengan belati kecilnya yang selalu mendampingi
Nabi dalam Pernag Uhud. Itu semua perlu komitmen dan beresiko sebagai
konsekuensi pilihan.
Jalan dakwah jalan mulia, bukanlah
jalan yang bertabur bunga. Jalan suci tetapi sepi, tanpa puji. Jalan para nabi
yang banyak dikhianati. Jalan para ulama yang tegar. Jalan orang-orang besar
yang penuh resiko. Tapi ingatlah, yang penting bukan label melainkan peran.
Sebab, Menjadi penting itu baik, tapi menjadi baik itu jauh lebih penting.