Jumat, 17 Februari 2012

Urgensi Amanah dan Fokus Kerja dalam Dakwah


Urgensi Amanah dan Fokus Kerja dalam Dakwah
Oleh Arif Iskandaria Al-Bantani

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggetarkan musuh Allah, musuh mu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infaqkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan di dzalimi (dirugikan).” Qs. Al-Anfal : 60

Amanah adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terlebih lagi bila ia menjadi pemimpin, ulama atau orang kaya. Lawan amanah adalah khianat. Sebab itu, tidak heran jika salah satu sifat yang wajib bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah amanah. Sedangkan khianat merupakan salah satu sifat yang mustahil dimiliki oleh beliau.
Amanah lazim dipahami sebagai sebuah karakter kejujuran dalam menjalankan tugas, pekerjaan atau kedudukan yang diperoleh atau diberikan. Ada lagi yang memahami amanah dengan memberikan atau menerima tugas dan tanggung jawab sesuai profesi dan keahlian. Ada pula yang mengartikan amanah sebagai penerapan hukum secara adil terhadap semua manusia, tanpa ada unsur kolusi dan nepotisme.
Apapun bentuk definisi amanah yang dirumuskan, sulit menemukan sebuah definisi yang mencakup semua aspek yang terkandung dalam kata "amanah", karena begitu besar makna dan perannya dalam kehidupan, khususnya dalam kehidupan Dakwah Ilallah. Dakwah Ilallah akan terasa hampa dan kering tanpa amanah. Dakwah Ilallah akan hancur, paling tidak menyimpang dari jalan dakwah itu sendiri tanpa amanah, terlebih lagi jika yang tidak amanah itu para pemimpinnya, ulamanya dan para orang kaya yang ada di dalamnya.
Amanah bukanlah sebuah rangkaian kata-kata indah yang selalu menghiasi bibir kita sehingga menjadi indah didengar dan dikhayalkan. Akan tetapi, amanah, khususnya dalam kehidupan jamaah dan dakwah Ilallah, hendaknya menjadi sebuah karakter permanen dalam diri para pemimpin, tokoh, ulama dan para aktivis dakwah yang tercermin bukan hanya dalam kata-kata, melaikan dapat pula diterjemahkan oleh pikiran, tulisan, perasaan, sikap dan tingkah laku keseharian.
Tanpa amanah seperti yang disebutkan di atas, sulit bagi kita membangun jamaah dakwah Ilallah yang kuat, dan terhormat yang kehidupan sehari-harinya diliputi oleh suasana kasih sayang (mahabbah) dan kejujuran. Bila amanah sudah sirna, virus-virus kebencian, KKN, like and dislike, kecurangan, tidak transparan, licik, oportunis, persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan dan bahkan memperjual belikan ayat-ayat Allah dengan harga (dunia) yang sedikit serta berbagai virus mematikan lain yang semakin merajalela. Akhirnya kehancuran yang akan menimpa (la samahallah).
Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah mengingatkan kita:
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Bersabda Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam: Bila amanah sudah diabaikan, maka tunggulah kehancuran. Dia berkata: Bagaimana mengabaikan amanah itu wahai baginda Rasulillah? Beliau menjawah: Bila diberikan suatu urusan/tugas/pekerjaan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran".

Imam syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan:
“Aku mampu membayangkan akh al-Mujahid itu sebagai seorang laki-laki yang senantiasa melakukan persiapan dan menyiapkan perlengkapannya, mampu menguasai pikiran yang memenuhi setiap sudut jiwanya dan seluruh bagian hatinya. Dia senantiasa berpikir memusatkan perhatian sepenuhnya terhadap persiapan yang terus menerus. Apabila dipanggil ia menyahut, apabila diajak ia menanggapi, datang dan perginya, perkataan dan bicaranya, kebenaran dan kelakarnya, tidak melampaui batas.
Dia tidak melaksanakan tugas selain dari yang telah diletakkan oleh keadaan dan tuntunan atasnya, dan dia berjihad di jalannya. Anda dapat membaca pada raut muka dan kilauan matanya, dan mendengar dari gerakan lidahnya semua apa yang bergelora di dalam hatinya, kesengsaraan yang tersimpan di dalam hati, semua tujuannya benar dan bersungguh-sungguh pelaksanaannya, cita-citanya tinggi dan sasarannya jauh untuk memenuhi jiwanya.”
Itulah perkataan Hasan Al-Banna ketika menggambarkan profil seorang mujahid. Bahwasanya persiapan itu perlu, termasuk dalam dakwah yang notabene merupakan proyek besar ummat Islam. Dakwah bukan hanya proses singkat yang langsung bisa diketahui hasilnya. Tapi ini merupakan proses perjalanan panjang yang tidak langsung segera kita ketahui hasil proses ini. Bahkan sesungguhnya, hanya ALLAH saja yang tahu hasil dari dakwah ini.
Kita boleh saja membatasi patokan bahwa ketika orang-orang semakin banyak yang rajin ke masjid, wanita-wanita sudah banyak yang berjilbab, maka itu berarti dakwah kita mulai menampakkan hasil. Tapi ingatlah, masalah hati hanya ALLAH saja yang tahu. Keikhlasan dan kedekatan orang-orang terhadap Islam adalah hak ALLAH
Tugas kita sebagai da’i hanyalah menyeru. Hasilnya kita serahkan kepada ALLAH. Tapi bukan berarti kita boleh asal-asalan dalam melaksanakan proyek dakwah. Kita tetap harus profesional dalam dakwah. Kita harus senantiasa ikhsan dalam pekerjaan ini. Untuk itulah, perlu dipersiapkan pula kader dakwah yang akan mengisi “jabatan” sesuai bidangnya. Salah satunya dengan melalui tarbiyah.
Tarbiyah adalah kerja besar. Proyek raksasa. Sistem yang integral. Dahsyat. Mengubah yang sederhana menjadi luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang yang memiliki naluri kepahlawanan. Demikian kata Anis Matta.
Tarbiyah adalah sebuah pilihan. Mengambil pilihan ini tentu mengandung resiko di luar zona nyaman kita.
Tarbiyah adalah perubahan. Berani tarbiyah artinya harus siap berubah, mengubah diri sendiri maupun mengubah orang lain. Karena perubahan adalah keniscayaan, maka yang terpenting adalah bagaimana menyiapkan perubahan itu menjadi lebih menyenangkan.
Di sinilah pentingnya peran seorang murobbi. Memang, dalam tarbiyah harus ada murobbi dan mutarobbi. Keduanya penting. Akan tetapi, hubungan seorang murobbi dan mutarobbinya bukan hanya sebatas hubungan guru dan murid, namun lebih dari itu.
Khususnya murobbi, ia adalah walid (orang tua). Murobbi adalah syaikh. Murobbi adalah guru. Murobbi juga adalah qa’id (panglima yang berwibawa).
Sebagai walid, ayah atau ibu, murobbi berperan dalam ikatan emosional. Ia berperan menguatkan mutarobbinya bila mereka sedang dalam keadaan futur (lemah). Menanyakan kabarnya, mengayominya, menenangkannya, menjadi pembimbingnya.
Sebagai syaikh, murobbi adalah pengarah jiwa yang selalu memberi oase ilmu dan memberikan sentuhan jiwa dalam spiritual dan ruhiyah. Selalu baru. Selalu maju. Selalu bersemangat dan selalu bermanfaat untuk ummat.
Sebagai guru (ustadz), murobbi mesti tidak berhenti belajar dan menimba ilmu. Sebab ia bertugas mengajarkan Al-Qur’an dan Kitab, memberi suplai ilmu, memberikan wawasan baru sehingga murid-murid merasa tenteram bersamanya.
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah: 11)
Murobbi adalah qa’id, panglima yang berwibawa, pemimpin yang berkharisma, inovatif dalam amalnya, kreatif mencari alur bagi para pengikutnya, pelopor dalam kebaikan, teladan dalam kebajikan, motivator di tengah kelesuan, motor dalam perubahan.
Tentunya sebagai qa’id, murobbi tidak hanya duduk-duduk saja. Tapi ia selalu terdepan dalam berprestasi dan inovasi tak pernah henti, agar bagaimanapun murobbi tetap lebih unggul.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS Fathir: 32)
Itulah beberapa peran seorang murobbi dalam tarbiyah. Rasulullah adalah imamnya yang utama. Al Qur’an dan Sunnah adalah pilar utama. Allah tujuannya. Syahid cita-citanya.
Adapun kader adalah pahlawan. Karena ia rela mengambil peran di tengah kesulitan, menapaki resiko di saat orang menghindar, meraih momentum saat manusia masih terkagum-kagum, dan menyusun kerja besar saat orang lain belum tersadar.
Untuk bisa membentuk kader seperti itu, diperlukan energi yang besar dan kerja yang keras. Energi dalam tubuh ada yang namanya energi inti (quantum). Energi ini selalu bergerak mengitari pusat orbitnya. Begitu pun tarbiyah, diperlukan quantum di dalamnya. Menjadi kader inti (quantum tarbiyah) berarti selalu begerak sesuai pusat orbitnya, fokus, taat, istiqomah, dan tak kenal lelah. “Berputarlah bersama Islam sebagaimana ia berputar.” Karena gerakan itulah, ia memiliki energi dahsyat yang takkan pernah habis kecuali Allah menghendaki.
Tidak mudah untuk menjadi kader inti. Tapi juga tidak terlalu sulit jika kita mau mencobanya. Ada beberapa karakter khas kader inti dalam dakwah, sebagai berikut:

1. Bersedia membina diri (Tarbiyah Dzatiyah)
Dalam dakwah, kader inti adalah mereka yang bersedia membina diri dan menyerahkan segala komitmennya buat perjuangan dakwah. Komitmennya tulus, tujuannya lurus, amal-amalnya bukan untuk mencari fulus, kerjanya serius, pikirannya diasah terus, dan langkah-langkahnya maju terus.
Allah SWT berfirman:
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran: 146)
2. Bertransaksi di jalan Illahi dengan penuh kesadaran
Yang dimaksudkan adalah kesadaran untuk menukar harta, jiwa, nyawa, dan dirinya dengan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Tanpa paksaan. Tanpa tekanan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At Taubah: 111)
3. Sabar: Tidak pindah ke lain hati
Karena komitmennya inilah, kader inti tidak mau berpindah ke lain hati. Sebab ia yakin bahwa Allah tak mungkin ingkar janji. Karena itulah, tetaplah di sini sahabat, di jalan dakwah ilallah.
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan Rasul-Rasul-Mu. Dan jangan Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS Ali Imran: 194)
Kader inti adalah bukti mana emas mana loyang, mana yang asli dan mana yang palsu, dan sebagainya. Karena itu, kader inti yang sejati tidak akan mengkhianati Allah. Tetap setia pada komitmen awal, bahwa Islam adalah agam yang fitrah. Karena itu, ia setia mengikuti Rasululah tanpa banyak membantah
4. Tegar: Siap mengambil Resiko Terberat
Karena komitmen inilah, para sahabat Nabi memerankan diri sebagai pembela Nabi, menukar kecintaan diri untuk sepenuh hati pada Nabi. Dalam kafilah inilah banyak kader-kader pilihan dengan berbagai keistimewaan. Ada Sa’ad bin Abi Waqqash pemanah jitu pertama atas lisensi Rasulullah. Ada Abu Dujanah dengan pedang terhunusnya menjadi benteng Nabi. Ada Khubaib bin Adi yang tak rela Nabi disakiti walau hanya tertusuk duri sekalipun. Ada pula Ummu Sulaim dengan belati kecilnya yang selalu mendampingi Nabi dalam Pernag Uhud. Itu semua perlu komitmen dan beresiko sebagai konsekuensi pilihan.
Jalan dakwah jalan mulia, bukanlah jalan yang bertabur bunga. Jalan suci tetapi sepi, tanpa puji. Jalan para nabi yang banyak dikhianati. Jalan para ulama yang tegar. Jalan orang-orang besar yang penuh resiko. Tapi ingatlah, yang penting bukan label melainkan peran. Sebab, Menjadi penting itu baik, tapi menjadi baik itu jauh lebih penting.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes